Senin, 07 November 2011

PEMANFAATAN KULIT DURIAN

Durian dikenal dengan nama latin Durie Ziberthinus. Durian merupakan buah musiman. Durian berasal dari negara tetangga yaitu, negara Malaysia. Namun, pada saat ini durian tersebar di seluruh Kepulauan Indonesia, Ceylon, India, Burma, Vietnam, Malaysia, sampai Philipina.
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan dikotil, tumbuhan berzat kayu, maka perkembangbiakan dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif, misalnya mencangkok pada dahan yang sehat.
Akan tetapi, dengan kemajuan teknologi sekarang, perkembangbiakannya lebih banyak dilakukan melalui okulasi.
Secara tradisional, pohon durian dapat tumbuh pada daerah yang berketinggian kira-kira 800 meter dari permukaan laut. Durian baru berbuah setelah berumur sekitar 9 tahun. Sekarang dengan teknologi modern yang meliputi pembibitan dan pemupukan, maka durian ada yang berbuah pada umur 4 atau 5 tahun.
Kulit durian yang akan dimanfaat memiliki serat-serat dan berlendir, memang serat-serat dan lendir dalam kulit durian membuat kulit durian sulit untuk dibakar apalagi digunakan sebagai bahan bakar, namun jika serabut tersebut disingkirkan, kulit durian dapat menjadi briket/bahan bakar yang sangat baik. Selain itu, kulit durian mengandung pelitin yang kadarnya tinggi yang dapat digunakan untuk pembuatan makanan.

PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG

Bahan pengawet merupakan bahan tambahan makanan yang dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan konsumen (Cahyadi, 2008). Dengan demikian pengawet diperlukan dalam pengolahan makanan, namun  kita harus tetap mempertimbangkan keamanannya. Hingga kini, penggunaan pengawet yang tidak sesuai masih sering terjadi dan sudah semakin luas, tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan konsumen.
Sesuai SK Menkes RI No. 722 th 1988 No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk malsud tehnologi pada pembuatan, pengolahan, penyimpanan, perlakuan, pengendapan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi, 2008). Menurut Food and Drugs Administration  (FDA), keamanan suatu pengawet makanan harus mempertimbangkan jumlah yang mungkin dikonsumsi dalam produk makanan atau jumlah zat yang akan terbentuk dalam makanan dari penggunaan pengawet. Jika dicerna oleh manusia atau hewan, termasuk potensi menyebabkan kanker.
Pengawet  tidak boleh digunakan untuk mengelabui konsumen dengan merubah tampilan makanan dari seharusnya.  Bahan pengawet bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, pertumbuhan mikroba menghambat enzimatik serta memberikan sifat fisik kimia yang khas dan memberikan estetika yang tinggi . Contohnya pengawet yang mengandung sulfite dilarang digunakan pada daging karena zat tersebut dapat menyebabkan warna merah pada daging sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti apakah daging tersebut merupakan daging segar atau sudah tidak segar lagi(Suparinto, C dan Hidayati D., 2006)
Akhir-akhir ini, hampir semua masyarakat di Indonesia mengalami rasa was-was untuk mengonsumsi makanan, khususnya makanan basah seperti mie, bakso, dan kemudian bertambah luas kekhawatiran itu, yakni takut mengonsumsi  ikan segar dan ikan yang diasinkan. Padahal, ikan segar maupun yang diasinkan selama ini merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun, ketika itu formalin menguat maka ketakutan pun menebar di seantero nusantara. Penyebab dari semua kekhawatiran tersebut tidak lain karena jumlah makanan  tersebut terdapat kandungan berbahaya (racun) yang berupa formalin.
Para ahli menegaskan bahwa formalin adalah sama sekali bukan bahan pengawet  pada makanan dan justru racun yang berbahaya bagi yang mengonsumsinya, baik dalm jumlah sedikit apalagi banyak. Kasus ditemukannya formalin dalam beberapa produk makanan, tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk lebih selektif dan mengonsumsi makanan. Namun, di sisi lain juga membuat kita meninjau kembali bagaimana seharusnya penggunaan pengawet dalam makanan dan produk olahan lainnya. Hal ini menimbulkan wacana terhadap  alternatif  bahan pengawet yang lebih aman bagi kesehatan tubuh manusia.
Saat ini budidaya udang  dan kepiting telah berkembang dengan pesat sehingga udang  dan kepiting dijadikan komoditas ekspor non migas yang dapat dihandalkan dan merupakan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi. Udang  dan kepiting di Indonesia  pada umunya diekspor ke luar negeri setelah dibuang kepala, ekor, dan kulitnya. Limbah ini biasanya di jual yang nantinya akan dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sebenarnya limbah ini dapat bernilai ekonomis tinggi jika dimanfaatkan menjadi senyawa  chitosan. Chitosan dari limbah udang ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami.
Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantungdari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil terhadap udara, panas dan sebagainya. Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya.
Dalam cangkang udang dan kepiting, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi (Puspawati N. M. dan Simpen I.N., 2010). Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan khitosan memiliki poli kation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Restuati, M., 2008). Indonesia sebagai negara penyedia udang seharusnya mampu mengolah limbah  udang yang dihasilkan menjadi  chitosan  karena  murah dan pembuatannya relatif  mudah.
Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan pangan  dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam  penyediaan daging untuk konsumen.  Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas Rumah Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran mikroba patogen (Soeparno,1998).
Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa. Perubahan bau menyimpang (offodor) pada daging biasanya terjadi jika total bakteri pada permukaan daging mencapai 107,0-7,5 koloni/cm2, di ikuti dengan pembentukan lendir pada permukaan jika jumlah bakteri mencapai 107,5-8,0 koloni/cm2 (Lowrie, R.A., 1995).
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu pengawetan makanan dengan menggunakan chitosan terutama pada daging, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan daging serta mengetahui pengaruh Chitosan terhadap sifat fisis daging dari segi penampakannya.

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT KACANG TANAH (Arachis Hypogea) SEBAGAI BAHAN ASAP CAIR (Liquid Smoke) ANTIOKSIDAN DAN APLIKASINYA DALAM PENGASAPAN IKAN BANDENG

Kacang tanah (Arachis hypogea) baru dimanfaatkan bijinya saja, sedangkan
pemanfaatan kulit baru dilakukan sebagai makanan ternak. Kulit kacang tanah
(Arachis hypogea) ditengarai memiliki zat penting seperti yang terkandung dalam
bijinya, termasuk zat antioksidan. Salah satu cara yang dapat dilakukan bagi
pemanfaatan limbah yang melimpah ini adalah dengan mengolahnya menjadi
asap cair. Asap cair mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan
pengasapan yang telah dilakukan sebelumnya (rumah pengasapan dan smoking
cabinet), yaitu dari sisi keamanan pangan dan kesehatan pengasap. Pada
kegiatan ini dibuat asap cair dengan bahan baku limbah kulit kacang tanah
(Arachis hypogea) dan aplikasi pada pengasapan ikan Bandeng (Chanos chanos
F.). Asap cair dari bahan baku ini diharapkan mampu memberikan manfaat
antioksidan bagi konsumennya.

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik

Pupuk | pupuk SP-36 | SP-36 | pupuk phospat | jual beli pupuk SP-36 | pupuk phosfat | distributor agen pupuk SP-36 | pupuk organik | pupuk P | pupuk super phospat.
Selama ini para petani telah banyak memanfaatkan bahan organik sebagai pupuk dilahan pertanian, karena bahan tersebut merupakan bahan yang cepat melapuk. Salah satu contoh bahan organik yang digunakan antara lain kotoran hewan (sapi, kambing, ayam, dll) dan limbah pertanian. Dengan munculnya berbagai pupuk alternatif dan untuk menunjang pembangunan pertanian yang ramah lingkungan, maka scat ini digalakan pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan pembuatan pupuk organik, bahkan beberapa petani/swasta
telah mencanangkan adanya pertanian organik. Pada saat ini banyak dijumpai berbagai merk dagang pupuk organik yang dijual dipasaran. Pupuk organik dapat berupa pupuk kandang, kompos dan campuran keduanya. Kunci pokok dalam pemilihan pupuk kandang adalah tingkat kematangan, perbandingan Carbon dan Nitrogen (C/N) dan kandungan unsur hara. Pupuk kandang selain berfungsi untuk memperbaiki sifat tanah juga sebagai sumber unsur hara walaupun dalam jumlah kecil. Dengan sifat fisik tanah yang balk, maka tanaman
menjadi lebih subur karena leluasa dalam pengambilan unsur hara. Sedangkan kelebihan kompos yang dibuat dengan memanfaatkan aktif atau mikroba adalah mengandung mikroba yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari serangan hams dan penyakit. Beberapa contoh kompos yang dibuat dengan menggunakan mikroba decomposer/pengurai antara lain: Bokashi, Fine Compost dan Kompos Bioaktif. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan oleh IP2TP Jakarta selama + 3 minggu menunjukkan data bahwa C/N ratio dari….

PEMANFAATAN LIMBAH ABU BATUBARA, KULIT KERANG DAN ABU SEKAM ...

DAN ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI
SEMEN DAN PASIR DALAM PEMBUATAN BATAKO
TESIS
Oleh
MISLAN
087026017/FIS
PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
  1
PEMANFAATAN LIMBAH ABU BATUBARA, KULIT
KERANG DAN ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN
SUBSTITUSI SEMEN DAN PASIR DALAM
PEMBUATAN BATAKO
TESIS
Oleh
MISLAN
087026017/FIS
PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
  2
PEMANFAATAN LIMBAH ABU BATUBARA, KULIT
KERANG DAN ABU SEKAM PADI SEBAGAI
BAHAN SUBSTITUSISEMEN DAN PASIR
DALAM PEMBUATAN BATAKO
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Magíster Sains dalam Program Studi
Magíster Ilmu Físika pada Program Pascasarjana
Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara
Oleh
MISLAN
087026017/FIS
PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
  3
PENGESAHAN TESIS
Judul Tesis : PEMANFAATAN LIMBAH ABU
BATUBARA, KULIT KERANG DAN
ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN
SUBSTITUSI SEMEN DAN PASIR
DALAM PEMBUATAN BATAKO
Nama Mahasiswa : MISLAN
Nomor Induk Mahasiswa : 087026017
Program Studi : Magister Fisika
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Drs. Muhammad Syukur, M.S Dr. Anwar Dharma S, M.S
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, D e k a n,
(Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc) (Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc)
Universitas Sumatera Utara
  4
PERNYATAAN ORISINALITAS
PEMANFAATAN LIMBAH ABU BATUBARA, KULIT KERANG
DAN ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI
SEMEN DAN PASIR DALAM PEMBUATAN BATAKO
TESIS
Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil
kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan
sumbernya dengan benar.
Medan, 7 Juni 2010
MISLAN
NIM. 087026017
Universitas Sumatera Utara
  5
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
dibawah ini:
Nama : MISLAN
NIM : 087026017
Program Studi : Magister Fisika
Jenis Karya Ilmiah : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive
Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:
PEMANFAATAN LIMBAH ABU BATUBARA, KULIT KERANG
DAN ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI
SEMEN DAN PASIR DALAM PEMBUATAN BATAKO
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media,
memformat, mengelolah dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan
Tesis saya tanpa meminta izizn dari saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Medan, 7 Juni 2010
MISLAN
Universitas Sumatera Utara
  6
Telah diuji pada
Tanggal : 7 Juni 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Drs. Muhammad Syukur, M.S
Anggota : 1. Dr. Anwar Dharma S, M.S
2. Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc
3. Dr. Marhaposan Situmorang
4. Drs. Tenang Ginting, M.S
Universitas Sumatera Utara
  7
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama lengkap berikut gelar : Mislan, S.Pd
Tempat dan Tanggal Lahir : Tanjung Selamat, 29 Juni 1978
Orang Tua :
Ayah : Bibit
Ibu : Satya
Alamat Rumah : Jl. Al Pokat Gg.Pisang Kelurahan Pantai Johor,
Kecamatan Datuk Bandar, Kota Tanjungbalai
Sumatera Utara
Telepon/Faks/HP : +6281361623756
e-mail : mislan78@yahoo.co.id
Instansi Tempat Bekerja : SMA Negeri 3 Tanjungbalai Sumatera Utara.
Alamat Kantor : Jl. SMA Negeri 3 Kota Tanjungbalai, Kelurahan
Gading, Kecamatan Datuk Bandar, Kota
Tanjungbalai Sumatera Utara
Telepon : (0623) 595464
DATA PENDIDIKAN
SD : SD Negeri 112240 Tanjung Selamat Tamat : 1990
SMP : SMP Negeri Kampung Rakyat Tamat : 1993
SLTA : MAN Rantau Perapat Labuhan Batu Tamat : 1996
Strata – 1 : Pend. Fisika FMIPA UNIMED Tamat : 2001
Strata – 2 : PSMF PPs FMIPA USU Tamat : 2010

Universitas Sumatera Utara
  8
KATA PENGANTAR
  Dengan kerendahan hati penulis haturkan Alhamdulillahirabbil’alamin,
puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“Pemanfaatan Limbah Abu Batubara, Kulit Kerang Dan Abu Sekam Padi
Sebagai Bahan Substitusi Semen Dan Pasir Dalam Pembuatan Batako” ini
yang merupakan tugas akhir pada Program Magister Sains Pada Program Studi
Magister Ilmu Fisika Progam Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik
Indonesia c.q. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan
bantuan dana sehingga kami dapat menyelesaikan pendidikan di Program
Magister Sains.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH,
(CTM), Sp.Ak atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan di Program Magister Sains.
Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir.
T. Chairu Nisa B, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi
Magister Sains.
Dekan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Eddy
Marlianto, M.Sc dan juga selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Fisika dan
Drs. Nasir Saleh, M.Eng.Sc selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Fisika
Prof. Drs. Muhammad Syukur, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.
Anwar Dharma S, M.S selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak
mencurahkan ilmu dan buah pikirannya dengan penuh kesabaran selama
membimbing penulis dalam melaksanakan tugas akhir, sehingga tesis ini dapat
diselesaikan. Kepada seluruh Staf Pengajar pada Program Magister Sains
Universitas Sumatera Utara.
Kepada Ayahanda Bibit dan Ibunda Satya serta istri tersayang Irawati
Parinduri, S.Pd dan anak-anakku terkasih Muhammad Rifa’i dan Muhammad
Raihan, terima kasih atas segalah pengorbanan kalian baik berupa moril maupun
materil, budi baik ini tidak dapat dibalas hanya diserahkan kepada Allah SWT.
Medan, 7 Juni 2010
Mislan
Universitas Sumatera Utara
  9
PEMANFAATAN LIMBAH ABU BATUBARA, KULI KERANG
DAN ABU SEKAM PADI SEBAGAI BAHAN SUBSTITUSI
SEMEN DAN PASIR DALAM PEMBUATAN BATAKO
ABSTRAK
Batako dalam penelitian ini dibuat dari campuran semen, abu batubara, kulit
kerang, pasir dan abu sekam padi dengan air 0,6 FAS. Komposisi sampel semen
yang disubstitusi dengan abu batubara dan kulit kerang mulai dari 0 – 25 %
sedangkan pasir disubstitusi dengan abu sekam padi mulai dari 0 – 50 %. Sampel
uji berbentuk balok 12 cm x 3 cm x 3 cm dan berbentuk silinder dengan diameter
5 cm dan tinggi ± 4 cm. Limbah batubara berupa abu batubara (fly ash) dan kulit
kerang dapat mensubstitusi semen mulai dari 0 – 20 % dengan perbandingan
antara abu batubara dan kulit kerang 1 : 1 perbandingan volume. Abu sekam padi
dapat mensubstitusi pasir sebagai agregat untuk menghasilkan batako yang lebih
ringan. Dari sampel yang dibuat ternyata nilai densitas berada pada kisaran
1729,760 – 2042,649 kg/m3. Sedangkan untuk serapan air ternyata nilai berada
pada kisaran 13,79 – 23,45 % dan keseluruhannya berada di bawah nilai
maksimum standart SNI 03-0349-1989 yang diperbolehkan untuk batako
pasangan dinding dan dapat digolongkan ke dalam tipe I. Sedangkan untuk kuat
tekan berada pada kisaran 3,99 – 8,53 Mpa dan dapat digolongkan ke dalam tipe
II berdasarkan SNI 03-0349-1989. Sedangkan untuk kuat patah berada pada
kisaran 1,416 – 2,613 Mpa. Dan untuk kuat impak berada pada kisaran 6888,9 –
14666,7 J/m2.
Kata kunci: Batako, semen, abu batubara, kulit kerang, pasir, abu sekam padi.
Universitas Sumatera Utara
  10
THE UTILIZATION OF THE WASTE OF FLY ASH, CLAMSHEL,
AND RICE HUSK ASH AS SUBSTITUTION OF CEMENT
AND SAND IN PRODUCING CONCRETE BRICKS
ABSTRACT
The concrete briks in this research are produced from mixture of cement, fly ash,
shells, sand and rice husk ash with water 0.6 FAS. The composition of the cement
samples substituted with fly ash and shells ranging from 0 – 25 %, while sand
substituted with rice husk ash ranging from 0 – 50 %. Beam-shaped test sample
12 cm x 3 cm x 3 cm and a cylinder with diameter of 5 cm and height of ± 4 cm.
Coal waste in the form of fly ash and shells may substitute cement ranging from 0
– 20 % with the ratio of fly ash and shell 1: 1 volume ratio. Rice husk ash may
substitute sand as an aggregate to produce a lighter brick. From the samples
made we can see that the density values is the range of 1729.760 to 2042.649
kg/m3. Whereas for the uptake of water was in the range of values from 13.79 to
23.45 % and the total was well below the maximum SNI 03-0349-1989 standard
which allowed couples to brick wall and can be classified into type I. Whereas for
compressive strength in the range of 3.99 to 8.53 MPa and can be classified into
type II based on SNI 03-0349-1989. While for the strong break in the range of
1.416 to 2.613 MPa. And for a stronger impact is the range of 6888.9 to 14666.7
J/m2.

PEMANFAATAN LIMBAH STYROFOAM MENJADI POT TANAMAN: UPAYA MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DALAM MENGURANGI PENCEMARAN LINGKUNGAN

Abstrak
Styrofoam sudah mencapai 53% mendominasi industri makanan di Indonesia untuk mengemas, menyimpan, dan membungkus makanan. Styrofoam merupakan bahan yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan karena bahan tersebut dapat terdegradasi di alam setelah 500 tahun kemudian. Oleh karena strukturnya yang solid, styrofoam dapat dimanfaatkan menjadi campuran bahan pot tanaman sebagai salah satu upaya manusia sebagai khalifah di muka bumi dalam mengurangi pencemaran lingkungan, sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan riwayat Muslim. Styrofoam ini berfungsi sebagai rangka pot untuk memberi bentuk. Keunggulan dari pot tanaman berbahan dasar styrofoam, yaitu kualitasnya tidak lebih rendah dibandingkan dengan pot keramik dan harga produksinya murah.

Pemanfaatan Limbah Peternakan Sapi

Pada umumnya peternakan sapi bertujuan untuk menghasilkan menghasilkan daging melalui proses pembesaran dan susu. Selain itu juga menghasilkan kulit, tulang, urine, dan kotoran. Kotoran merupakan salah satu masalah bagi para peternak. Di peternakan besar yang memiliki ratusan ekor sapi, bila dibiarkan kotoran tersebut lama-kelamaan akan menggunung. Bila tidak ditangani secara serius akan menimbulkan bau yang menyengat dan pencemaran lingkungan.

Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan kotoran sebagai pupuk kompos. Kompos yang baik adalah yang sudah cukup mengalami pelapukan dan dicirikan oleh warna yang sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan sesuai suhu ruang. Proses pembuatan dan pemanfaatan kompos dirasa masih perlu ditingkatkan agar dapat dimanfaatkan secara lebih efektif, menambah pendapatan peternak dan mengatasi pencemaran lingkungan. Di tengah kelangkaan dan mahalnya harga pupuk non organik (kimia), pupuk kompos adalah alternatif yang paling baik. Selain banyaknya kotoran, pembuatan pupuk kompos juga sangat mudah. Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk sudah dilakukan petani secara optimal di daerah-daerah sentra produk sayuran. Sayangnya masih ada kotoran ternak tertumpuk di sekitar kandang dan belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber pupuk. Dengan begitu keluhan petani saat terjadi kelangkaan atau mahalnya harga pupuk non organik dapat diatasi dengan menggiatkan kembali pembuatan dan pemanfaatan pupuk kompos.
Kotoran sapi dapat dibuat menjadi beberapa jenis kompos yaitu curah, blok, granula dan bokhasi. Kompos sebagai pupuk organik yang berbahan kotoran sapi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan pupuk anorganik. Selain itu, kompos juga mempunyai prospek dan peluang yang besar untuk dipasarkan secara lebih meluas untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia. Penyediaan kompos organik yang berkelanjutan dan praktis dapat mempermudah petani untuk memanfaatkannya sebagai penyubur tanah dan tanaman pertaniannya.
Prinsip yang digunakan dalam pembuatan kompos adalah proses pengubahan limbah organik menjadi pupuk organik melalui aktivitas biologis pada kondisi yang terkontrol. Bahan yang diperlukan adalah kotoran sapi : 80 – 83%, serbuk gergaji (bisa sekam, jerami padi dll) : 5%, bahan pemacu mikroorganisame : 0.25%, abu sekam : 10% dan kalsit/kapur : 2%, dan juga boleh menggunakan bahan-bahan yang lain asalkan kotoran sapi minimal 40%, serta kotoran ayam 25 %.
Tempat pembuatan adalah sebidang tempat beralas tanah dan dibagi menjadi 4 bagian (lokasi 1, 2, 3, 4) sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan dan tempat tersebut ternaungi agar pupuk tidak terkena sinar matahari dan air hujan secara langsung. Prosesing pembuatannya adalah pertama kotoran sapi (fases dan urine) diambil dari kandang dan ditiriskan selama satu minggu untuk mendapatkan kadar air mencapai + 60%, kemudian kotoran sapi yang sudah ditiriskan tersebut dipindahkan ke lokasi 1 tempat pembuatan kompos dan diberi serbuk gergaji atau bahan yang sejenis seperti sekam, jerami padi dll, serta abu, kalsit/kapur dan stardec sesuai dosis, selanjutnya seluruh bahan campuran diaduk secara merata. Setelah satu minggu di lokasi 1, tumpukan dipindahkan ke lokasi 2 dengan cara diaduk/dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu hingga mencapai 70 derajat celcius untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga kompos yang dihasilkan dapat bebas dari biji gulma.
Selain sebagai pupuk kompos, kotoran juga bisa dimanfaatkan sebagai biogas. Biogas merupakan salah satu sumber energi yang berasal dari sumber daya alam hayati. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi yang relatif kurang oksigen (anaerob). Sumber bahan untuk menghasilkan biogas yang utama adalah kotoran ternak sapi, kerbau, babi, kuda dan unggas; dapat juga berasal dari sampah organik.
Pada beberapa tahun terakhir istilah Biogas memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat kita. Telah banyak terobosan teknologi tepat guna yang diciptakan baik kalangan insiyur, akademisi maupun masyarakat umum untuk pemanfaatan salah satu energi alternatif terbarukan ini. Bahkan sebagian masyarakat pedesaan di beberapa propinsi, terutama para peternak sapi telah menggunakan teknologi ramah lingkungan ini sebagai pemenuhan kebutuhan bahan bakar sehari-hari. Dengan kata lain, mereka telah berhasil mencapai swadaya energi dengan tidak lagi menggunakan minyak tanah untuk memasak, bahkan juga untuk penerangan.
Potensi kotoran sapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan Biogas sebenarnya cukup besar, namun belum semua peternak memanfaatkannya. Bahkan selama ini telah menimbulkan masalah pencemaran dan kesehatan lingkungan. Umumnya para peternak membuang kotoran sapi tersebut ke sungai atau langsung menjualnya ke pengepul dengan harga sangat murah. Padahal dari kotoran sapi saja dapat diperoleh produk-produk sampingan (by-product) yang cukup banyak. Sebagai contoh pupuk organik cair yang diperoleh dari urine mengandung auksin cukup tinggi sehingga baik untuk pupuk sumber zat tumbuh. Serum darah sapi dari tempat-tempat pemotongan hewan dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi tanaman, selain itu dari limbah jeroan sapi dapat juga dihasilkan aktivator sebagai alternatif sumber dekomposer.
Biogas sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan, dapat dibakar seperti gas elpiji (LPG) dan dapat dugunakan sebagai sumber energi penggerak generator listrik. Kotoran dari 2 ekor ternak sapi atau 6 ekor ternak babi dapat menghasilkan kurang lebih 2 m3 (1 kg LPG) biogas per hari. Saat ini berbagai jenis bahan dan ukuran peralatan biogas telah dikembangkan sehingga dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan pengelolaan kotoran ternak.
Gas metan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776). Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham (1868) murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882) adalah orang pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan.
Pada prinsipnya, pembuatan Biogas sangat sederhana, hanya dengan memasukkan substrat (kotoran ternak) ke dalam digester yang anaerob. Dalam waktu tertentu Biogas akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya untuk kompor gas atau listrik. Penggunaan biodigester dapat membantu pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran ternak untuk memproduksi Biogas dan diperoleh hasil samping (by-product) berupa pupuk organik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas metan (CH4) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sektor pertanian dan peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan terdekomposisi secara terbuka melainkan difermentasi menjadi energi gas bio. Sebagaimana kita ketahui, gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan gas CO2 memberikan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan gas metan secara lokal ini dapat berperan positif dalam upaya penyelesaian masalah global.
Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amoniak. Sedangkan pada tahap metanogenik adalah proses pembentukan gas metan. Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur dll.
Dengan pemanfaatan limbah kotoran sapi yang semula menjadi masalah dapat bermanfaat. Bahkan, bila dikembangkan dengan baik dapat menjadi mata pencaharian baru bagi para peternak karena besarnya potensi yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pemanfaatan limbah kotoran sapi juga dapat menyelamatkan lingkungan dari pencemaran serta pemanasan global karena dapat diolah sebagai biogas. Kurangnya kesadaran masyarakat dianggap sebagai faktor terbesar yang menyebabkan belum banyaknya pemanfaatan limbah ternak.

Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit

Energi berkaitan langsung dengan pertumbuhan Poduk Domestic Bruto (PDB) suatu negara indikatornya kita kenal dengan koefisien elastisitas penggunaan energi. Untuk negara indonesia koefisien elastisitas penggunaan energi adalah 1,84 %. Ini artinya untuk meningkatkan PDB 1% maka energi yang diperlukan harus naik 1,84%. Dengan angka penggunaan energi sebesar ini maka Indonesia dikatakan sebagai negara yang paling boros dalam penggunaan energi jika dibandingkan dengan negara lain apalagi dengan negara maju. Sumber energi utama di Indonesia berasal dari minyak bumi. Sektor yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah sektor pertanian, industri, dan transportasi yang setiap tahunnya mendapat subsidi dari pemerintah. Pada sektor tersebut biasanya menggunakan sumber energi berasal dari bahan bakar minyak (BBM) yaitu minyak diesel.

Sejak menjadi negara pengimpor minyak bumi pada tahun 2005 maka subsidi untuk bahan bakar minyak semakin membebani pemerintah Indonesia. Jika selama ini bahan bakar minyak menjadi sumber pemasukan bagi negara maka sejak tahun 2005 malah menjadi sumber pengeluaran utama bagi negara. Hampir sepertiga dari kebutuhan minyak bumi di negara ini harus di impor dari luar negeri, produksi minyak bumi Indonesia 1 juta barel perhari sedangkan kebutuhannya 1,3 juta barel perhari. Melihat keadaan seperti ini maka pemerintah mulai melirik sumber energi alternatif yang mampu menyumbang devisa bagi negara. Sumber energi yang mulai di lirik adalah gas alam, batu bara, panas bumi, energi sinar matahari, energi samudra hingga bahan bakar nabati (BBN).

Bahan bakar nabati mendapat perhatian dari pemerintah karena di Indonesia tersedia cukup untuk keperluan ekspor dan dalam negeri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BPPT sumber bahan bakar nabati yang ada di Indonesia cukup banyak yaitu 30 jenis tanaman. Di antara 30 jenis tanaman tersebut yang paling memungkin di pakai sebagai sumber bahan bakar nabati ada dua jenis tanaman yang layak dikembangkan ditinjau dari aspek teknis dan aspek ekonomi yaitu kelapa sawit (Palm Oil) dan jarak pagar (Curcas Jatropa).

Kedua jenis tanaman ini sangat familiar bagi masyarakat Indonesia karena tanaman sawit merupakan penghasil minyak mentah sawit yang kita kenal dengan Crude Palm Oil atau CPO. Tanaman jarak pagar sudah dikenal sejak zaman penjajahan Jepang yang digunakan sebagai minyak pelumas untuk mesin perang tentara Jepang Pada Perang dunia ke-2 dan minyak mentah yang dihasilkan oleh minyak jarak dikenal dengan nama Curcas Jatropa Oil atau CJO. Bahan bakar nabati yang diolah dari kedua tanaman ini kita kenal dengan biodiesel.

Bahan bakar biodiesel sesuai namanya di pakai sebagai pengganti atau campuran minyak yang digunakan untuk mesin diesel. Biodiesel ini memang bukan 100 % tapi campurannya terdiri dari 70 % minyak solar dan 30 persen dari Fatty Acid Metyl Ester atau yang lebih dikenal dengan nama FAME. FAME merupakan produk turunan dari CPO dan CJO lewat reaksi trans-esterifikasi. Untuk biodiesel dari minyak jarak Indonesia pantas bersyukur karena satu-satunya negara di dunia yang mampu membuat biodiesel dengan komposisi 100 persen dari minyak jarak.

Walaupun cuma 30 persen tapi produksi biodiesel berbahan baku dari kelapa sawit lebih menjanjikan dari tanaman jarak karena ketersediaan sawit lebih banyak, harga minyak sawit agak stabil di pasaran dunia, selain itu minyak sawit dijadikan sebagai komiditas makanan. Hal tersebut belum berlaku bagi tanaman jarak karena belum teruji dalam komersil dan masih dalam percobaan. Maka untuk strategi jangka pendek dan menengah digunakan CPO sebagai bahan baku untuk biodiesel.

Jika biodiesel diproduksi dari CPO maka akan mengganggu pasokan untuk keperluan industri lain yang berbasiskan CPO misalnya industri minyak goreng, margarin, surfaktan, industri kertas, industri polimer dan industri kosmetik. Selain itu kapasitas pabrik yang dibangun harus dalam skala besar dan harus terintegrasi dengan industri CPO. Skala yang ideal yang minimum untuk pembangunan biodiesel dengan berbahan baku biodiesel adalah 100 ribu ton per tahun dengan laju pengembalian modal sekitar 6 tahun. Angka ini akan sulit terealisasi mengingat industri lain juga membutuhkan CPO dalam jumlah yang besar.

Tantangan yang lain bagi pengembangan industri biodiesel adalah harga CPO dan bahan baku pendukung lainnya cenderung naik, harus bersaing dengan BBM konvensional yang sewaktu-waktu harganya bisa jatuh. Karena harga BBM konvensional tergantung pada situasi politik di Timur Tengah, jika kondisi politik di Timur Tengah telah stabil maka harga minyak akan jatuh kembali. Mengingat krisis seperti ini pernah terjadi pada dekade 70-an terjadi embargo minyak bumi. Selain itu adanya persaingan dengan penghasil biodiesel utama di Eropa yaitu negara Jerman dengan kapasitas produksi 2 juta ton pertahun. Sebagian besar paten proses pengolahan biodiesel di pegang oleh negara Jerman. Melihat kondisi seperti ini perlu dilakukan inovasi untuk pengolahan biodiesel. Maka alternatif yang dipakai untuk pembuatan biodiesel adalah menggunakan limbah dari produksi CPO atau yang lebih dikenal dengan nama CPO parit.

Pada tahun 2005 Indonesia punya 360 pabrik CPO dengan produksi 11,6 juta ton dan dihasilkan limbah cair sebanyak 0,355 juta ton. Limbah cair kelapa sawit memiliki BOD sebesar 25.000 mg/l, COD sebesar 50.000 mg/l dan pH 4,2 (bersifat asam) limbah ini akan menimbulkan masalah bagi lingkungan hidup jika dibuang secara langsung. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup batasan limbah yang dibuang ke alam adalah 100 mg/l untuk BOD, 350 mg/l untuk COD dan kisaran pH sebesar 6 – 9. Jika limbah cair ini dimanfaatkan untuk keperluan produksi biodiesel dengan perkiraan hilang sebesar 10% maka kemungkinan FAME yang akan dihasilkan sebesar 0,320 juta ton yang bisa diolah menjadi 7,093 juta liter biodiesel/tahun.

Kelebihan pembuatan biodiesel dengan bahan baku limbah cair CPO adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan pencemaran limbah terhadap pencemaran air tanah dan sunagai.

2. Transfer Pricing karena penggunaan biodiesl berbahan baku ini akan menekan pokok produksi CPO. Harga solar untuk keperluan industri per 1 Juli 2006 Rp 6.321,22 – Rp 6.595,70 per liter (berdasarkan suplai point). Apabila Pabrik CPO menggunakan Biodisel berbahan baku ini, maka biaya yang dikeluarkan hanya Rp. 4.785,00 perliter (harga standar yang dibuatkan untuk biodiesel mutu standar) harga ini dapat ditekan lagi karena CPO parit hanya Rp.300,00 perliter. Harga ini dapat ditekan lagi jika terjadi kontrak tetap dengan pabrik CPO yang ada karena akan dapat terbantu terhadap solusi limbah cair yang di hasilkan.

3. Memperoleh CDM (clean development mechnism).

4. Bisa di bangun terintegrasi dengan pabrik CPO karena berfungsi sebagai pengolah limbah.

Propinsi Riau merupakan daerah penghasil CPO terbesar di Indonesia yaitu dengan produksi 3,3 juta ton pertahun atau hampir 30 persen dari total produksi sawit Indonesia. Dengan angka produksi sebesar ini maka CPO parit yang dihasilkan adalah 0.1065 juta ton atau 106,5 ribu ton. Jika dibangun pabrik biodiesel dengan menggunakan CPO parit di Riau dan terintegrasi dengan pabrik CPO maka akan mengurangi angka pengangguran. Mengingat pabrik CPO di Riau berjumlah 118 buah, jika di asumsikan satu pabrik biodiesel menyerap tenaga kerja 20 orang maka jumlah tenaga kerja yang terserap adalah 2.360 orang. Sebuah peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan bisa memininalisir angka kemiskinan di Riau. Maka ada satu pertanyaan yang muncul, Adakah minat kita untuk mengembangkannya???

Pemanfaatan Limbah dari Tanaman Pisang

Pisang bisa disebutkan sebagai buah kehidupan. Kandungan kalium yang cukup banyak terdapat dalam buah ini mampu menurunkan tekanan darah, menjaga kesehatan jantung, dan memperlancar pengiriman oksigen ke otak. Pisang telah lama akrab dengan masyarakat Indonesia, terbukti dari seringnya pohon pisang digunakan sebagai perlambang dalam berbagai upacara adat. Pohon pisang selalu melakukan regenerasi sebelum berbuah dan mati, yaitu melalui tunas-tunas yang tumbuh pada bonggolnya. Dengan cara itulah pohon pisang mempertahankan eksistensinya untuk memberikan manfaatkan kepada manusia. Filosofi tersebutlah yang mendasari penggunaan pohon pisang sebagai simbol niat luhur pada upacara pernikahan.
Iklim tropis yang sesuai serta kondisi tanah yang banyak mengandung humus memungkinkan tanaman pisang tersebar luas di Indonesia. Saat ini, hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil pisang.
Pisang mempunyai banyak manfaat yaitu dari mulai mengatasi masalah kecanduan rokok sampai untuk masalah kecantikan seperti masker wajah, mengatasi rambut yang rusak dan menghaluskan tangan.
Selain buahnya pisang jarang dimanfaatkan, seperti batang, bonggol, kulit dan jantungnya. Tetapi seiring dengan bertambahnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka banyak yang bisa dimanfaatkan dari limbah-limbah yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga akan meningkatkan kualitas dari limbah tersebut dan menambah nilai ekonomi dari limbah tersebut.
Reuse
Contoh penanganan limbah pisang dengan cara guna ulang (Reuse) ialah
a. Kulit Pisang Ambon Bisa Digunakan Untuk Pengobatan. `
Pisang ambon sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Selain mengandung vitamin C, pisang ambon juga mengandung serat tinggi yang berfungsi melancarkan saluran pencernaaan, sehingga buang air besar pun jadi lancar. Ternyata, selain buahnya, kulit pisang ambon pun berguna untuk mengobati bercak-bercak hitam agak kasar ( misalnya bekas cacar) pada kulit. Caranya, gosokkan kulit pisang ambon bagian dalam pada kulit yang terdapat bekas cacar. Biarkan beberapa saat, setelah itu cuci dengan air hangat. Lakukan cara ini secara rutin dan penuh kesabaran. Hasilnya, kulit akan kembali mulus seperti sediakala
b. Bonggol pisang untuk obat dan makanan
Air bonggol pisang kepok dan klutuk juga diketahui dapat dijadikan obat untuk menyembuhkan penyakit disentri, pendarahan usus, obat kumur serta untuk memperbaiki pertumbuhan dan menghitamkan rambut. Sedangkan untuk makanan, bonggol pisang dapat diolah menjadi penganan, seperti urap dan lalapan
c. Batang Pisang yang dijadikan pakan ternak
Batang pisang yang tidak dipakai biasanya langsung dibuang atau untuk menahan laju air tapi selain itu batang pisang juga bisa digunakan untuk pakan ternak karena kandungan yang terkandung di dalam batang pisang dapat meningkatkan gizi pada ternak tersebut sehingga akan meningkatkan kualitas dari ternak tersebut
Recycle
Contoh penanganan limbah pisang dengan cara daur ulang (recycle) ialah
a. Cuka Kulit Pisang
Mula-mula kumpulkan kulit pisang sebanyak 100 kg dan lakukan proses produksi selama 4-5 minggu. Kebutuhan bahan-bahan lain mencakup: 20 kg gula pasir, 120 gr ammonium sulfit (NH4)2S03, 0,5 kg ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) dan 25 liter induk cuka (Acetobacter aceti).
Cara rnembuatnya, kulit pisang dipotong-potong atau dicacah, lalu direbus dengan air sebanyak 150 liter. Saring dengan kain dalam stoples. Berdasarkan uji lapangan, bahan awal kulit pisang yang direbus itu akan menghasilkan cairan kulit pisang kira-kira 135 liter, bagian yang hilang 7,5 kg, dan sisa bahan padat sekitar 112,5 kg. Setelah disaring ke stoples, cairan kulit pisang ini perlu ditambah ammonium sulfit dan gula pasir.
Langkah berikut, didinginkan dan tambahkan ragi roti. Biarkan fermentasi berlangsung satu minggu. Hasilnya disaring lagi. Dari 135 liter cairan kulit pisang setelah difermentasi dan disaring menjadi 130 liter larutan beralkohol, dan lima liter produk yang tidak terpakai. Pada larutan beralkohol itu ditambahkan induk cuka, dan biarkan fermentasi berlangsung selama tiga minggu.
Selanjutnya, hasil fermentasi larutan beralkohol dididihkan. Nah, dalam kondisi masih panas, cuka pisang dimasukkan ke dalam botol plastik. Lalu segera ditutup dan disimpan dalam temperatur kamar. Biasanya pemasaran cuka pisang dikemas dalam plastik berukuran 40 ml, 60 ml, atau 80 ml. Jika dihitung, dari 100 kg kulit pisang akan diperoleh sekitar 120 liter cuka pisang.
b. Nata dari Kulit Pisang
Potensi buah-buahan lokal Nusantara untuk dikembangkan sebagai bahan makanan sudah terbukti. Salah satu buah tersebut yakni pisang. Buah ini selain bisa dimakan saat segar juga bisa dibuat berbagai jenis makanan, seperti ceriping, dan sale.
Sebuah penelitian terhadap buah pisang dilakukan tiga dosen Universitas Negeri Yogyakarta. Sekali lagi untuk menjadikan pisang sebagai produk olahan yang disukai masyarakat dengan tetap memiliki kandungan gizi.
Yang menarik, penelitian yang dilakukan Das Salirawati MSi, Eddy Sulistyowati Apt MS, dan Retno Arianingrum MSi yang semuanya adalah dosen Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam adalah bukan dilakukan pada buahnya, tetapi pada kulitnya. Penelitian ini sukses menjadikan kulit pisang-yang selama ini lebih banyak dibuang-menjadi nata.
Nata adalah serat yang berbentuk seperti gel yang dibuat dengan memanfaatkan kerja bakteri Acetobacter xylinum. “Selama ini masyarakat telah mengenal produk nata de coco atau nata yang dibuat dari air kelapa. Nata dari kulit pisang sebenarnya sama dengan nata de coco, bedanya nata pisang dibuat dari bahan dasar kulit pisang,” katanya, Rabu (8/3).
Ide membuat nata dari kulit pisang, karena terinspirasi dari penelitian sebelumnya yang bisa membuat nata dari buah pisang. “Kenapa kemudian memilih kulit pisang karena selama ini kulit pisang tidak termanfaatkan dan hanya dibuang begitu saja. Padahal kulit pisang ini banyak ditemui di sekitar kita, antara lain di tempat-tempat orang jual gorengan,” ucapnya.
Proses pembuatan nata kulit pisang yang pertama adalah mengerok kulit bagian dalam buah pisang. Hasil kerokan itu kemudian diblender dan dicampur air bersih dengan perbandingan 1 : 2, lalu disaring guna mendapatkan air perasan. Setelah itu ditambahkan asam cuka biasa dengan ukuran 4-5 persen dari volume air perasan. Jika menggunakan asam cuka absolut maka cukup 0,8 persen. Ditambahkan juga pupuk ZA sebanyak 0,8 persen dari larutan, dan gula pasir sebanyak 10 persen. Bahan-bahan tersebut dicampurkan untuk kemudian dipanaskan sampai mendidih.
“Asam cuka dan pupuk ZA berfungsi untuk media hidup bagi bakteri Acetobacter xylinum. Bakteri ini membutuhkan nitrogen dari pupuk ZA dan keasaman dari cuka. Acetobacter xylinum inilah yang nanti akan membentuk nata,” ujar Das.
Setelah mendidih lalu dituangkan dalam cetakan-cetakan. Dengan ketinggian cairan adonan lebih kurang 2-3 cm di setiap cetakan. Setelah dingin, dimasukkan bakteri Acetobacter xylinum-yang bisa dibeli dalam bentuk cairan-sebanyak 10 persen dari campuran. Sebelum memasukkan bakteri, adonan harus benar-benar dingin, sebab kalau masih panas bakteri akan mati. Setelah itu, cetakan ditutup dengan kertas koran. Ini supaya udara tetap bisa masuk melalui pori-pori kertas. Setelah dua minggu, cetakan baru boleh dibuka. Adonan pun akan berubah menjadi berbentuk gel.
Nata lalu diiris-iris, dicuci, dan diperas sampai kering. Untuk selanjutnya direbus lagi dengan air lebih kurang dua kali rebusan. Ini berfungsi untuk menghilangkan aroma asam cuka. Setelah selesai, nata bisa dicampur dengan sirop atau gula sesuai selera. Campuran rasa diperlukan karena nata berasa tawar. Nata dari kulit pisang pun siap disajikan untuk minuman, maupun makanan kecil lain. Diketahui dari 100 gram nata kulit pisang mengandung protein sebanyak 12 mg. Das Salirawati mengungkapkan, penelitian itu akan dilanjutkan untuk mencari ketebalan nata yang paling optimal. Dari percobaan awal, diketahui dari ketebalan cairan adonan dua cm diperoleh nata lebih kurang 1,5 cm. Masyarakat dipersilakan jika ingin mencoba membuat nata dari kulit pisang. “Ini bisa untuk usaha alternatif skala kecil,” tuturnya. (RWN)

GuestBook