Adanya limbah dimaksud menimbulkan masalah penanganannya yang selama ini dibiarkan membusuk, ditumpuk dan dibakar yang kesemuanya berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga penanggulangannya perlu dipikirkan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah memanfaatkannya menjadi produk yang bernilai tambah dengan teknologi aplikatif dan kerakyatan sehingga hasilnya mudah disosialisasikan kepada masyarakat.
Hasil evaluasi menunjukkan beberapa hal berprospek positif sebagai contoh teknologi aplikatif dimaksud dapat diterapkan secara memuaskan dalam mengkonversi limbah industri pengolahan kayu menjadi arang serbuk, briket arang, arang aktif, arang kompos dan soil conditioning.
Penerapan teknologi aplikatif dan kerakyatan ini dapat dikembangkan menjadi skala besar (pilot dan komersial) baik secara teknis maupun ekonomis. Lebih lanjut keberhasilan pemanfaatan limbah dapat memberi manfaat antara lain dari segi kehutanan dan industri kayu dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku konvensional (kayu) sehingga mengurangi laju penebangan/kerusakan hutan dan mengoptimalkan pemakaian kayu serta menghemat pengeluaran bulanan keluarga dan meningkatkan kesuburan tanah. Namun demikian mengubah pola kebiasaan masyarakat tidak mudah, diperlukan proses yang panjang.
I. PENDAHULUAN
Keberadaan dan peran industri hasil hutan utamanya kayu di Indonesia dewasa ini menghadapi tantangan yang cukup berat berkaitan dengan adanya ketimpangan antara kebutuhan bahan baku industri dengan kemampuan produksi kayu secara lestari. Bila memperhatikan kondisi hutan alam yang makin menurun berarti makin langkanya bahan baku kayu, serta besarnya tantangan berbagai aspek khususnya di sektor kehutanan (lingkungan, ekolabel, perdagangan karbon) maka perlu dilakukan perubahan mendasar dalam kebijakan pembangunan kehutanan, salah satunya dengan mengedepankan peran inovasi teknologi yang lebih berpihak kepada masyarakat khususnya industri kecil, meningkatkan efisiensi pengolahan hasil hutan serta memaksimalkan pemanfaatan kayu dan limbah biomassa yang mengarah kepada zero waste (Anonim, 2000).
Untuk industri besar dan terpadu, limbah serbuk kayu gergajian sudah dimanfaatkan menjadi bentuk briket arang dan arang aktif yang dijual secara komersial. Namun untuk industri penggergajian kayu skala industri kecil yang jumlahnya mencapai ribuan unit dan tersebar di pedesaan, limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal, seperti industri penggergajian di Jambi yang berjumlah 150 buah yang kesemuanya terletak ditepi sungai Batanghari limbah kayu gergajian yang dihasilkan dibuang ke tepi sungai tersebut sehingga terjadi proses pendangkalan dan pengecilan ruas sungai.
Beberapa teknologi alternatif untuk memanfaatkan limbah biomassa ini melalui teknologi yang aplikatif menjadi produk yang lebih bermanfaat sehingga mudah untuk disosialisasikan ke masyarakat pengguna. Teknologi tersebut di antaranya adalah teknologi pembuatan arang dari serbuk gergajian kayu dengan sistem kontinyu yang dirancang dapat dibongkar pasang (knock down) dan dapat dipindah-pindah (portable) dengan biaya yang relatif murah. Arang serbuk yang dihasilkan dapat diolah lebih lanjut menjadi produk yang lebih mempunyai nilai ekonomi seperti arang aktif, briket arang, serat karbon, arang kompos dan dapat digunakan secara langsung sebagai (soil conditioning). Sedangkan produk samping yang sudah bukan menjadi sampingan lagi yaitu cairan destilat dan ter dapat digunakan sebagai bahan pengawet, isektisida dan obat. Ditinjau dari aspek energi, briket arang ini dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak tanah dan kayu bakar yang harganya semakin naik, sehingga dapat menghemat pengeluaran biaya bulanan.
Selain faktor internal, perlu diperhatikan juga faktor eksternal yang tidak kalah pentingnya seperti persaingan di pasar global yang memerlukan dukungan teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah, peningkatan produktivitas dan mutu produk. Kandungan teknologi (inovasi teknologi) harus dapat ditingkatkan sejalan dengan makin kompetitifnya perdagangan komoditas hasil hutan. Tanpa inovasi teknologi kelangsungan hidup industri hasil hutan tidak dapat terus berjalan apabila hanya mengandalkan potensi sumber daya alam (Anonim, 2000).
II. POTENSI LIMBAH BIOMASSA
Di Indonesia ada tiga macam industri kayu yang secara dominan mengkonsumi kayu dalam jumlah relatif besar, yaitu: penggergajian, vinir/kayu lapis, dan pulp/kertas. Sebegitu jauh limbah biomassa dari industri tersebut telah dimanfaatkan kembali dalam proses pengolahannya. sebagai bahan bakar guna melengkapi kebutuhan energi industri vinir/kayu lapis dan pulp/kertas. Yang menimbulkan masalah adalah limbah penggergajian yang kenyataannya dilapangan masih ada yang di tumpuk sebagian dibuang ke aliran sungai (pencemaran air), atau dibakar secara langsung (ikut menambah emisi karbon di atmosfir). Produksi total kayu gergajian Indonesia mencapai 2.6 juta m3 per tahun (Forestry Statistics of Indonesia 1997/1998). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang terbentuk 54.24 persen dari produksi total (Martawijaya dan Sutigno 1990), maka dihasilkan limbah penggergajian sebanyak 1.4 juta m3 per tahun; angka ini cukup besar karena mencapai sekitar separuh dari produksi kayu gergajian.
Tabel 1. Produksi kayu gergajian dan perkiraan jumlah limbah
Tahun | Produksi kayu Gergajian (m3) | Produksi Limbah, 50 % (m3) | Serbuk Gergajian 15 % (m3) | Sebetan 25 % (m3) | Potongan Ujung 10 % (m3) |
1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 | 1.729.839 2.014.193 3.565.475 2.613.452 2.707.221 | 864.919,5 1.007.096 1.782.737 1.306.726 1.353.610 | 129.737,9 151.064,5 267.410,6 196.008,9 203.041,6 | 216.229,9 251.774,1 445.684,4 326.681,5 338.402,6 | 86.492,0 100.709,7 178.273,8 130.672,6 135.361,1 |
Sumber: Departemen Kehutanan (1998/1999)
III. ALTERNATIF PEMANFAATAN
Limbah industri pengolahan kayu terdiri dari limbah yang dihasilkan industri kayu lapis, pengergajian dan pengerjaan kayu yang berupa potongan ujung, sebetan, sisa kupasan, tatal dan serbuk gergajian.
A. Arang Serbuk dan Arang bongkah
Khusus untuk pembuatan arang dari serbuk gergajian kayu, teknologi yang digunakan berbeda dengan cara pembuatan arang sistem timbun dan kiln bata. Teknologi yang digunakan dalam proses pembuatan arang dari serbuk gergaji kayu ini adalah dengan menggunakan drum yang dimodifikasi dan dilengkapi dengan lubang udara di sekeliling badan drum dan cerobong asap dibagian tengah badan drum. Rendemen arang serbuk gergaji yang dihasilkan dengan cara ini sebesar 15 – 20 %. kadar karbon terikat sebesar 50 – 72 kal/g dan nilai kalor arang antara 5800 – 6300 kal/g. Mengingat cara ini kurang efektif bila ditinjau dari lamanya proses pembuatan arang serbuk yang memerlukan waktu lebih dari 10 jam dengan hasil yang tidak terlalu banyak, maka dibuat teknologi baru untuk mengatasi kekurangan cara drum tersebut. Teknologi ini dirancang dengan konstruksi yang terbuat dari plat besi siku yang dapat dibongkar pasang (sistem baut) dan ditutup dengan lembaran seng yang juga menggunakan sistem baut. Dalam satu hari (9 jam) dapat mengarangkan serbuk sebanyak 150 – 200 kg yang menghasilkan rendemen arang antara 20 – 24 %. Kadar air 3,49 %, kadar abu 5,19 %, kadar zat terbang 28,93 % dan kadar karbon sebesar 65,88 %. Arang serbuk gergaji yang dihasilkan dapat dibuat atau diolah lebih lanjut menjadi briket arang, arang aktif, dan sebagai media semai tanaman. Biaya untuk membuat kiln semi kontinyu ini adalah sebesar Rp. 2000.000,-
Untuk limbah sebetan dan potongan ujung dapat dibuat arang dengan menggunakan tungku kubah yang terbuat dari batu bata yang dipelester dengan tanah liat dan dilengkapi dengan alat penampung atau mendinginkan asap yang keluar dari cerobong sehingga didapatkan cairan ter dan destilat yang dapat diaplikasikan lebih lanjut. Di Thailand cairan wood vinegar ini merupakan produk utama dalam hal pembuatan arang yang sebelumnya merupakan produk samping karena harga jualnya tinggi yanitu sebesar 50 Bath/L sedangkan untuk arangnya hanya berharga 4 Bath/kg. Dari kapasitas tungku sebesar 4,5 ton dihasilkan cairan destilat sebanyak 150 liter dan arang sebanyak 800 kg (Sujarwo, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2000) menunjukkan bahwa tungku dengan kapasitas 445 kg menghasilkan arang sebanyak 60,6 kg dan cairan destilat 75,5 kg. Adapun biaya pembuatan tungku bata yang diplester dengan tanah liat yang dilengkapi dengan alat proses pendinginan sebesar Rp. 4000.000 (Nurhayati, 2000).
B. Arang aktif
Arang aktif adalah arang yang diolah lebih lanjut pada suhu tinggi sehingga pori-porinya terbuka dan dapat digunakan sebagai bahan adsorben. Proses yang digunakan sebagian besar menggunakan cara kimia di mana bahan baku direndam dalam larutan, CaCl2, MgCl2, ZnCl2 selanjutnya dipanaskan dengan jalan dibakar pada suhu 5000C. Hasilnya menunjukkan bahwa kualitas arang aktif dalam hal ini besarnya daya serap terhadap yodium memenuhi standar SII karena daya serapnya lebih dari 20 %. Sesuai dengan perkembangan teknologi dan persyaratan standar yang makin ketat serta isu lingkungan, teknologi ini sudah tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut terutama untuk pemakaian bahan pengaktif ZnCl2 yang dapat mengeluarkan gas klor pada saat aktivasi.
Mensikapi kasus tersebut di atas, telah dilakukan perbaikan teknologi pembuatan arang aktif dengan cara oksidasi gas pada suhu tinggi dan kombinasi antara cara kimia dengan menggunakan H3PO4 sebagai bahan pengaktif dan oksidasi gas. Hasil penelitian Pari (1996) menyimpulkan bahwa arang aktif dari serbuk gergajian sengon yang dibuat secara kimia dapat digunakan untuk menarik logam Zn, Fe, Mn, Cl, PO4 dan SO4 yang terdapat dalam air sumur yang terkontaminas dan juga dapat digunakan untuk menjernihkan air limbah industri pulp kertas (Pari, 1996). Arang aktif yang diaktivasi dengan bahan pengaktif NH4HCO3 menghasilkan arang aktif yang memenuhi Standar Jepang dengan daya serap yodium lebih dari 1050 mg/g dan rendemen arang aktifnya sebesar 38,5 % (Pari, 1999).
Pada tahun 1986 berdiri sebuah pabrik arang aktif di Kalimantan yang membuat arang aktif dari limbah serbuk gergajian kayu dengan kapasitas produksi 3000 ton/th. Sampai sekarang terdapat dua buah pabrik pengolahan arang aktif yang menggunakan serbuk gergajian kayu sebagai bahan baku utamanya. Kualitas arang aktif yang dihasilkan memenuhi SNI karena daya serap yodiumnya lebih dari 750 mg/g, tetapi belum memenuhi standar Jepang. Harga jual arang aktif bervariasi antara Rp 6.500 – Rp 15.000/kg tegantung pada kualitas yang diinginkan. Untuk arang aktif buatan Jerman harganya mencapi Rp 65.000/0,5 kg.
C. Briket arang
Briket arang adalah arang yang diolah lebih lanjut menjadi bentuk briket (penampilan dan kemasan yang lebih menarik) yang dapat digunakan untuk keperluan energi sehari-hari. Pembuatan briket arang dari limbah industri pengolahan kayu dilakukan dengan cara penambahan perekat tapioka, di mana bahan baku diarangkan terlebih dahulu kemudian ditumbuk, dicapur perekat, dicetak (kempa dingin) dengan sistem hidroulik manual selanjutnya dikeringkan. Hasil penelitian Hartoyo, Ando dan Roliadi (1978) menyimpulkan bahwa kualitas briket arang yang dihasilkan setaraf dengan briket arang buatan Inggris dan memenuhi persyaratan yang berlaku di Jepang karena menghasilkan kadar abu dan zat mudah menguap yang rendah serta tingginya kadar karbon terikat dan nilai kalor. Selain itu hasil penelitian Sudrajat (1983) yang membuat briket arang dari 8 jenis kayu dengan perekat campuran pati dan molase menyimpulkan bahwa makin tinggi berat jenis kayu, karepatan briket arangnya makin tinggi pula. Kerapatan yang dihasilkan antara 0,45 – 1,03 g/cm3 dan nilai kalor antara 7290 – 7456 kal/g.
Pembuatan briket arang yang dilakukan sekarang adalah bahan baku yang digunakan adalah sudah langsung dalam bentuk arang serbuk sehingga proses penggilingan dan pengayakan bahan baku yang dilakukan sebelumnya dapat dihilangkan. Proses selanjutnya adalah penambahan perekat tapioka dan pengepresan seperti pembuatan briket arang sebelumnya. Untuk membuat alat cetak briket sistem manual hidroulik dengan jumlah lubang 24 buah diperlukan biaya Rp 18.000.000,-
Pada tahun 1990 berdiri pabrik briket arang tanpa perekat di Jawa Barat dan Jawa Timur yang menggunakan serbuk gergajian kayu sebagai bahan baku utamanya. Proses pembuatan briket arangnya berbeda dengan cara yang disebutkan di atas. Bahan baku serbuk gergajian kayu dikeringkan selanjutnya dibuat briket kayu dengan sistem ulir berputar dan berjalan sambil dipanaskan kemudian diarangkan dalam kiln bata. Kualitas briket arang yang dihasilkan mempunyai nilai kalor kurang dari 7000 kal/g yaitu sebesar 6341 kal/g dan kadar karbon terikatnya sebesar 74,35 %. Namun demikian studi yang dilaksanakan di Jawa Barat menunjukkan bahwa pabrik briket arang dengan kapasitas sebanyak 260 kg briket arang/hari dapat menguntungkan. Di pasar swalayan sekarang dapat dibeli briket arang dari kayu dengan dengan harga jual Rp 12.000/2,5 kg.
Apabila briket arang dari serbuk gergajian ini dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif baik sebagai pengganti minyak tanah maupun kayu bakar maka akan dapat terselamatkan CO2 sebanyak 3,5 juta ton untuk Indonesia, sedangkan untuk dunia karena kebutuhan kayu bakar dan arang untuk tahun 2000 diperkirakan sebanyak 1,70 x 109 m3 (Moreira (1997) maka jumlah CO2 yang dapat dicegah pelepasannya sebanyak 6,07 x 109 ton CO2/th.
D. Energi.
Jenis limbah yang digunakan sebagai sumber energi dapat berupa potongan ujung, sisa pemotongan kupasan, serutan dan seruk gergajian kayu yang kesemuanya digunakan untuk memanaskan ketel uap. Pada industri kayu lapis keperluan pemakaian bahan bakar untuk ketel uap sebesar 19,7 % atau 40 % dari total limbah yang dihasilkan.
Untuk industri pengeringan papan skala industri kecil proses pengeringannya dilakukan secara langsung dengan membakar limbah sebetan atau potongan ujung, panas yang dihasilkan dengan bantuan blower dialirkan ke dalam suatu ruangan yang berisi papan yang akan dikeringkan. Hasil penelitian Nurhayati (1991) menyimpulkan bahwa untuk mengeringkan papan sengon sebanyak 10260 kg berat basah pada kadar air 161,04 % menjadi 5220 kg papan pada kadar air 6,58 % selama 6 hari menghabiskan limbah sebanyak 3433 kg. Teknologi lainnya adalah proses konversi kayu menjadi bahan bakar melalui proses gasifikasi. Hasil penelitian Nurhayati dan Hartoyo (1992) menyimpulkan bahwa limbah kayu kamper dapat dikonversi menjadi bahan bakar dengan sistem gasifikasi fluidized bed yang menghasilkan nilai kalor gas sebesar 7,106 MJ/m3 dengan komposisi gas H2 = 5,6 %; CO = 11,77 %, CH4 = 3,99 %; C2H4 = 4,34 %, C2H6 = 0,21 %, N2 = 57,69 % O2 = 0,40 % dan CO2 = 15,71 %.
E. Soil conditioning
Penggunaan arang baik yang berasal dari limbah eksploitasi maupun yang berasal dari industri pengolahan kayu untuk soil conditioning, merupakan salah satu alternatif pemanfaatan arang selain sebagai sumber energi. Secara morfologis arang memiliki pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah. Oleh sebab itu aplikasi arang pada lahan-lahan terutama lahan miskin hara dapat membangun dan meningkatkan kesuburan tanah, karena dapat meningkatkan beberapa fungsi antara lain: sirkulasi udara dan air tanah, pH tanah, merangsang pembentukan spora endo dan ektomikoriza, dan menyerap kelebihan CO2 tanah. Sehingga dapat meningkatkan produktifitas lahan dan hutan tanaman.
Hasil penelitian pendahuluan Gusmailina et. al. (1999), menunjukkan bahwa pemberian arang dan arang aktif bambu sebagai campuran media tanam dapat meningkatkan persentase pertumbuhan baik pada tingkat semai maupun anakan (seedling) dari Eucalyptus urophylla. pemberian arang serbuk gergaji dan arang sarasah dapat meningkatkan pertumbuhan anakan Acacia mangium dan Eucalyptus citriodora lebih dari 30 % dibanding tanpa pemberian arang, begitu juga pemberian arang di lapangan dapat meningkatkan diameter batang tanaman E. urophylla. Sedangkan untuk tanaman pertanian seperti cabe (Capsicum annum) penambahan arang bambu sebanyak 5 % dan arang sekam sebanyak 10 % dapat meningkatkan persentasi pertumbuhan tinggi tanaman menjadi 11 %. Namun demikian akan lebih baik bila pada waktu penanaman, arang yang ditambahkan dicampur dengan kompos. Hasil sementara menunjukkan dengan penambahan arang serbuk gergajian kayu dan kompos serbuk menghasilkan diameter pohon yang lebih besar (7,9 cm) dibanding tanpa pemberian kompos.
F. Kompos dan Arang Kompos
Serbuk gergaji merupakan salah satu jenis limbah industri pengolahan kayu gergajian. Alternatif pemanfaatan dapat dijadikan kompos untuk pupuk tanaman. Hasil penelitian Komarayati (1996) menunjukkan bahwa pembuatan kompos serbuk gergaji kayu tusam (Pinus merkusii) dan serbuk gergaji kayu karet (Hevea braziliensis) dengan menggunakan activator EM4 dan pupuk kandang menghasilkan kompos dengan nisbah C/N 19,94 dan rendemen 85 % dalam waktu 4 bulan. Selain itu Pasaribu (1987) juga memanfaatkan serbuk gergaji sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai bahan baku untuk kompos. Kompos yang dihasilkan mempunyai nisbah C/N 46,91 dengan rendemen 90 % dalam waktu 35 hari. Hasil penelitian pemberian kompos serbuk dan sarasah pohon karet dapat meningkatkan pertumbuhan Eucalyptus urophylla 40-50 % dalam waktu 5 bulan dibanding tanpa pemberian kompos.
Penelitian dengan menggunakan residu fermentasi padat anaerobik dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter anakan Eucalyptus urophylla sampai 11,65 cm dan 1,24 cm (Gusmailina et al, 1990) sedangkan untuk anakan Paraserianthes falcataria sebesar 9,33 cm dan 0,11 cm (Komarayati et al, 1992 dan Komarayati, 1993).
IV. PENERAPAN
Hasil-hasil penelitian tersebut tidak akan berarti tanpa disebarluaskan kepada masyarakat pengguna. Untuk hal ini perlu dilakukan serangkaian ujicoba, maupun alih teknologi kepada masyarakat dengan tujuan selain untuk mempertanggung jawabkan hasil penelitian kepada masyarakat yang telah membiaya kegiatan penelitian ini melalui penerimaan pajak yang disetorkan kepada negara juga untuk memberikan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada akhirnya masyarakat dapat membuat dan mengolah sendiri bahan-bahan yang belum termanfaatkan, minimal untuk kebutuhan sendiri sehingga dapat menghemat pengeluaran biaya bulanan. Hasil sosialisasi yang dilakukan oleh Hendra dan Pari (2001) penambahan arang-kandang dapat meningkatkan panen cabe 2 kali lebih besar dibanding tanpa memakai arang kandang dan tanah bekas pakai masih tetap subur karena arangnya masih tersedia dan tidak lapuk. Hasil sosialisasi yang dilakukan oleh Gusmailina dkk (2002) mengenai aplikasi arang kompos dari serbuk gergajian kayu sebagai media tanaman cabe dalam kantung plastik di pekarangan rumah dapat menghemat pengeluaran keluarga sebanyak Rp 50.000/bulan, sehingga dapat digunakan untuk keperluan lain terutama untuk pendidikan. Namun demikian untuk mengubah kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat tidak mudah, diperlukan waktu yang panjang seperti mengubah kebiasaan menggunakan kayu bakar dengan arang/briket arang dan mengubah kebiasaan menggunakan pupuk sintetis kepada pupuk organik.
V. KESIMPULAN
Potensi bahan baku kayu yag belum termanfaatkan adalah sebesar 2,03 juta m3/th untuk industri pengolahan kayu. Limbah dari industri pengolahan kayu dapat dimanfaatkan menjadi arang serbuk dengan teknologi kiln semi kontinyu, briket arang, arang aktif, arang kompos, soil conditioning Hasil sosialisasi arang kompos dapat menghemat pengeluaran bulanan keluarga dan lebih menyuburkan lahan tanah. Namun demikian sulit untuk mengubah pola budaya yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar