Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit
Energi berkaitan langsung dengan pertumbuhan Poduk Domestic Bruto (PDB) suatu negara indikatornya kita kenal dengan koefisien elastisitas penggunaan energi. Untuk negara indonesia koefisien elastisitas penggunaan energi adalah 1,84 %. Ini artinya untuk meningkatkan PDB 1% maka energi yang diperlukan harus naik 1,84%. Dengan angka penggunaan energi sebesar ini maka Indonesia dikatakan sebagai negara yang paling boros dalam penggunaan energi jika dibandingkan dengan negara lain apalagi dengan negara maju. Sumber energi utama di Indonesia berasal dari minyak bumi. Sektor yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah sektor pertanian, industri, dan transportasi yang setiap tahunnya mendapat subsidi dari pemerintah. Pada sektor tersebut biasanya menggunakan sumber energi berasal dari bahan bakar minyak (BBM) yaitu minyak diesel.
Sejak menjadi negara pengimpor minyak bumi pada tahun 2005 maka subsidi untuk bahan bakar minyak semakin membebani pemerintah Indonesia. Jika selama ini bahan bakar minyak menjadi sumber pemasukan bagi negara maka sejak tahun 2005 malah menjadi sumber pengeluaran utama bagi negara. Hampir sepertiga dari kebutuhan minyak bumi di negara ini harus di impor dari luar negeri, produksi minyak bumi Indonesia 1 juta barel perhari sedangkan kebutuhannya 1,3 juta barel perhari. Melihat keadaan seperti ini maka pemerintah mulai melirik sumber energi alternatif yang mampu menyumbang devisa bagi negara. Sumber energi yang mulai di lirik adalah gas alam, batu bara, panas bumi, energi sinar matahari, energi samudra hingga bahan bakar nabati (BBN).
Bahan bakar nabati mendapat perhatian dari pemerintah karena di Indonesia tersedia cukup untuk keperluan ekspor dan dalam negeri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BPPT sumber bahan bakar nabati yang ada di Indonesia cukup banyak yaitu 30 jenis tanaman. Di antara 30 jenis tanaman tersebut yang paling memungkin di pakai sebagai sumber bahan bakar nabati ada dua jenis tanaman yang layak dikembangkan ditinjau dari aspek teknis dan aspek ekonomi yaitu kelapa sawit (Palm Oil) dan jarak pagar (Curcas Jatropa).
Kedua jenis tanaman ini sangat familiar bagi masyarakat Indonesia karena tanaman sawit merupakan penghasil minyak mentah sawit yang kita kenal dengan Crude Palm Oil atau CPO. Tanaman jarak pagar sudah dikenal sejak zaman penjajahan Jepang yang digunakan sebagai minyak pelumas untuk mesin perang tentara Jepang Pada Perang dunia ke-2 dan minyak mentah yang dihasilkan oleh minyak jarak dikenal dengan nama Curcas Jatropa Oil atau CJO. Bahan bakar nabati yang diolah dari kedua tanaman ini kita kenal dengan biodiesel.
Bahan bakar biodiesel sesuai namanya di pakai sebagai pengganti atau campuran minyak yang digunakan untuk mesin diesel. Biodiesel ini memang bukan 100 % tapi campurannya terdiri dari 70 % minyak solar dan 30 persen dari Fatty Acid Metyl Ester atau yang lebih dikenal dengan nama FAME. FAME merupakan produk turunan dari CPO dan CJO lewat reaksi trans-esterifikasi. Untuk biodiesel dari minyak jarak Indonesia pantas bersyukur karena satu-satunya negara di dunia yang mampu membuat biodiesel dengan komposisi 100 persen dari minyak jarak.
Walaupun cuma 30 persen tapi produksi biodiesel berbahan baku dari kelapa sawit lebih menjanjikan dari tanaman jarak karena ketersediaan sawit lebih banyak, harga minyak sawit agak stabil di pasaran dunia, selain itu minyak sawit dijadikan sebagai komiditas makanan. Hal tersebut belum berlaku bagi tanaman jarak karena belum teruji dalam komersil dan masih dalam percobaan. Maka untuk strategi jangka pendek dan menengah digunakan CPO sebagai bahan baku untuk biodiesel.
Jika biodiesel diproduksi dari CPO maka akan mengganggu pasokan untuk keperluan industri lain yang berbasiskan CPO misalnya industri minyak goreng, margarin, surfaktan, industri kertas, industri polimer dan industri kosmetik. Selain itu kapasitas pabrik yang dibangun harus dalam skala besar dan harus terintegrasi dengan industri CPO. Skala yang ideal yang minimum untuk pembangunan biodiesel dengan berbahan baku biodiesel adalah 100 ribu ton per tahun dengan laju pengembalian modal sekitar 6 tahun. Angka ini akan sulit terealisasi mengingat industri lain juga membutuhkan CPO dalam jumlah yang besar.
Tantangan yang lain bagi pengembangan industri biodiesel adalah harga CPO dan bahan baku pendukung lainnya cenderung naik, harus bersaing dengan BBM konvensional yang sewaktu-waktu harganya bisa jatuh. Karena harga BBM konvensional tergantung pada situasi politik di Timur Tengah, jika kondisi politik di Timur Tengah telah stabil maka harga minyak akan jatuh kembali. Mengingat krisis seperti ini pernah terjadi pada dekade 70-an terjadi embargo minyak bumi. Selain itu adanya persaingan dengan penghasil biodiesel utama di Eropa yaitu negara Jerman dengan kapasitas produksi 2 juta ton pertahun. Sebagian besar paten proses pengolahan biodiesel di pegang oleh negara Jerman. Melihat kondisi seperti ini perlu dilakukan inovasi untuk pengolahan biodiesel. Maka alternatif yang dipakai untuk pembuatan biodiesel adalah menggunakan limbah dari produksi CPO atau yang lebih dikenal dengan nama CPO parit.
Pada tahun 2005 Indonesia punya 360 pabrik CPO dengan produksi 11,6 juta ton dan dihasilkan limbah cair sebanyak 0,355 juta ton. Limbah cair kelapa sawit memiliki BOD sebesar 25.000 mg/l, COD sebesar 50.000 mg/l dan pH 4,2 (bersifat asam) limbah ini akan menimbulkan masalah bagi lingkungan hidup jika dibuang secara langsung. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup batasan limbah yang dibuang ke alam adalah 100 mg/l untuk BOD, 350 mg/l untuk COD dan kisaran pH sebesar 6 – 9. Jika limbah cair ini dimanfaatkan untuk keperluan produksi biodiesel dengan perkiraan hilang sebesar 10% maka kemungkinan FAME yang akan dihasilkan sebesar 0,320 juta ton yang bisa diolah menjadi 7,093 juta liter biodiesel/tahun.
Kelebihan pembuatan biodiesel dengan bahan baku limbah cair CPO adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan pencemaran limbah terhadap pencemaran air tanah dan sunagai.
2. Transfer Pricing karena penggunaan biodiesl berbahan baku ini akan menekan pokok produksi CPO. Harga solar untuk keperluan industri per 1 Juli 2006 Rp 6.321,22 – Rp 6.595,70 per liter (berdasarkan suplai point). Apabila Pabrik CPO menggunakan Biodisel berbahan baku ini, maka biaya yang dikeluarkan hanya Rp. 4.785,00 perliter (harga standar yang dibuatkan untuk biodiesel mutu standar) harga ini dapat ditekan lagi karena CPO parit hanya Rp.300,00 perliter. Harga ini dapat ditekan lagi jika terjadi kontrak tetap dengan pabrik CPO yang ada karena akan dapat terbantu terhadap solusi limbah cair yang di hasilkan.
3. Memperoleh CDM (clean development mechnism).
4. Bisa di bangun terintegrasi dengan pabrik CPO karena berfungsi sebagai pengolah limbah.
Propinsi Riau merupakan daerah penghasil CPO terbesar di Indonesia yaitu dengan produksi 3,3 juta ton pertahun atau hampir 30 persen dari total produksi sawit Indonesia. Dengan angka produksi sebesar ini maka CPO parit yang dihasilkan adalah 0.1065 juta ton atau 106,5 ribu ton. Jika dibangun pabrik biodiesel dengan menggunakan CPO parit di Riau dan terintegrasi dengan pabrik CPO maka akan mengurangi angka pengangguran. Mengingat pabrik CPO di Riau berjumlah 118 buah, jika di asumsikan satu pabrik biodiesel menyerap tenaga kerja 20 orang maka jumlah tenaga kerja yang terserap adalah 2.360 orang. Sebuah peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan bisa memininalisir angka kemiskinan di Riau. Maka ada satu pertanyaan yang muncul, Adakah minat kita untuk mengembangkannya???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar