Bahan pengawet merupakan bahan tambahan makanan yang dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan konsumen (Cahyadi, 2008). Dengan demikian pengawet diperlukan dalam pengolahan makanan, namun kita harus tetap mempertimbangkan keamanannya. Hingga kini, penggunaan pengawet yang tidak sesuai masih sering terjadi dan sudah semakin luas, tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan konsumen.
Sesuai SK Menkes RI No. 722 th 1988 No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk malsud tehnologi pada pembuatan, pengolahan, penyimpanan, perlakuan, pengendapan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi, 2008). Menurut Food and Drugs Administration (FDA), keamanan suatu pengawet makanan harus mempertimbangkan jumlah yang mungkin dikonsumsi dalam produk makanan atau jumlah zat yang akan terbentuk dalam makanan dari penggunaan pengawet. Jika dicerna oleh manusia atau hewan, termasuk potensi menyebabkan kanker.
Pengawet tidak boleh digunakan untuk mengelabui konsumen dengan merubah tampilan makanan dari seharusnya. Bahan pengawet bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, pertumbuhan mikroba menghambat enzimatik serta memberikan sifat fisik kimia yang khas dan memberikan estetika yang tinggi . Contohnya pengawet yang mengandung sulfite dilarang digunakan pada daging karena zat tersebut dapat menyebabkan warna merah pada daging sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti apakah daging tersebut merupakan daging segar atau sudah tidak segar lagi(Suparinto, C dan Hidayati D., 2006)
Akhir-akhir ini, hampir semua masyarakat di Indonesia mengalami rasa was-was untuk mengonsumsi makanan, khususnya makanan basah seperti mie, bakso, dan kemudian bertambah luas kekhawatiran itu, yakni takut mengonsumsi ikan segar dan ikan yang diasinkan. Padahal, ikan segar maupun yang diasinkan selama ini merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun, ketika itu formalin menguat maka ketakutan pun menebar di seantero nusantara. Penyebab dari semua kekhawatiran tersebut tidak lain karena jumlah makanan tersebut terdapat kandungan berbahaya (racun) yang berupa formalin.
Para ahli menegaskan bahwa formalin adalah sama sekali bukan bahan pengawet pada makanan dan justru racun yang berbahaya bagi yang mengonsumsinya, baik dalm jumlah sedikit apalagi banyak. Kasus ditemukannya formalin dalam beberapa produk makanan, tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk lebih selektif dan mengonsumsi makanan. Namun, di sisi lain juga membuat kita meninjau kembali bagaimana seharusnya penggunaan pengawet dalam makanan dan produk olahan lainnya. Hal ini menimbulkan wacana terhadap alternatif bahan pengawet yang lebih aman bagi kesehatan tubuh manusia.
Saat ini budidaya udang dan kepiting telah berkembang dengan pesat sehingga udang dan kepiting dijadikan komoditas ekspor non migas yang dapat dihandalkan dan merupakan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi. Udang dan kepiting di Indonesia pada umunya diekspor ke luar negeri setelah dibuang kepala, ekor, dan kulitnya. Limbah ini biasanya di jual yang nantinya akan dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sebenarnya limbah ini dapat bernilai ekonomis tinggi jika dimanfaatkan menjadi senyawa chitosan. Chitosan dari limbah udang ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami.
Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantungdari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil terhadap udara, panas dan sebagainya. Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya.
Dalam cangkang udang dan kepiting, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi (Puspawati N. M. dan Simpen I.N., 2010). Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan khitosan memiliki poli kation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Restuati, M., 2008). Indonesia sebagai negara penyedia udang seharusnya mampu mengolah limbah udang yang dihasilkan menjadi chitosan karena murah dan pembuatannya relatif mudah.
Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan daging untuk konsumen. Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas Rumah Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran mikroba patogen (Soeparno,1998).
Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa. Perubahan bau menyimpang (offodor) pada daging biasanya terjadi jika total bakteri pada permukaan daging mencapai 107,0-7,5 koloni/cm2, di ikuti dengan pembentukan lendir pada permukaan jika jumlah bakteri mencapai 107,5-8,0 koloni/cm2 (Lowrie, R.A., 1995).
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu pengawetan makanan dengan menggunakan chitosan terutama pada daging, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan daging serta mengetahui pengaruh Chitosan terhadap sifat fisis daging dari segi penampakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar